Di tiap jengkal kehidupan, sang hujan memang harus tercerahkan.
Kadang, hari-hari memang harus dilalui dalam
selingkup awan kelabu dan kedukaan.
(Henry Wadsworth Longfellow, Pujangga AS 1807-1882)
Tidak selamanya hidup itu bahagia, dan tidak seterusnya hidup itu sedih. Bahagia dan sedih bergantian menghiasi hidup layaknya pergantian siang dan malam, bedanya antara teratur dan tidak teratur pergantiannya. Kenapa seseorang bahagia atau sedih pasti ada sebabnya. Seperti aku yang lagi bahagia sekaligus sedih. Bahagia karena tidak perlu lagi berpikir mencari cewek calon pendamping hidup. Aku sudah punya perempuan yang aku sebut Res_Lia. Ia perempuan biasa yang aku sayang. Sedangkan aku juga sedang dilanda sedih karena harus berpisah dengan ia yang kusayang, Res_Lia. Berpisah sementara. Berpisah untuk berjumpa kembali. Perpisahan ini harus terjadi untuk kebaikan hubunganku berdua yang lebih baik. Aku harus keluar dari Jogja untuk melanjutkan pendidikan atau cari kerja. Kalau tetap di Jogja aku yakin tidak akan maju kearah perkembangan yang lebih baik. Aku tidak bisa fokus dan Res_Lia mungkin akan molor pendidikannya karena banyak bermain-main. Tiap hari bertemu keliling kota makan bareng. Kelihatannya indah tapi kurang bermanfaat untuk kebahagiaan masa depan.
Ada pendapat menarik dilontarkan M. Ikhsan dalam bukunya Yang Penting Hepi (Dar! Mizan, Bandung/2006) tentang bahagia dan sedih ini. Bahwa “jalan pertama yang akan kita lalui bersama agar kita bisa menjadi bahagia adalah jalan memilih. Karena bahagia itu merupakan pilihan sebagaimana deritA juga pilihan”(hlm 21). Jelas sekali bahagia dan sedih adalah soal pilihan. Kita memilih bahagia atau sedih dalam merespon peristiwa yang terjadi diseputaran kita. Misalnya kita pas jalan-jalan di mal kehilangan dompet yang uang didalamnya akan kita belikan baju. Respon yang kita berikan biasanya adalah sedih dan menyesal harus kehilangan. Mengapa kita harus sedih? Kok tidak milih bahagia saja?dengan tersenyum misalnya. Mending kita milih bahagia bila lebih indah dar pada meski harus kehilangan uang. Dari pada bersedih menambah penderitaan kita. Berpikirlah kehilangan dompet karena kecerobohan kita, dan mungkin uang kita akan dimanfaatkan orang lain yang lebih membutuhkan.
Satu kisah menarik datang dari Hazrat Abu Siraaj r.a yang bercerita tentang seorang perempuan.
Hazrat Abu Hasan Siraaj r.a berkata “Ketika aku sedang melakukan thawaf haji, aku melihat seorang perempuan yang sangat cantik, bercahaya dalam kecantikannya. Aku memandangnya dan beerkata, ‘Demi Allah, kecantikan dan wajah indah seperti ini pastilah karena ia tidak pernah mengalami derita atau kesedihan’.”
Rupanya ia mendengar perkataanku. Ia berkata, “Tuan, begitukah yang ada dalam pikiran Tuan? Demi Allah, saya sudah terhempas dalam cerita dan kesedihan yang menimpa saya. Hati dan jiwa dipenuhi begitu banyak duka tanpa seorang pun yang bisa diajak berbagi derita.”
Aku bertanya, Apa yang terjadi, ibu?”
Ia menjawab, “Suamiku sekali waktu menyembelih kambing sebagi korban ketika aku sedang menyusukan bayiku. Kedua anakku yang lain sedang bermain-main di sekitarku. Ketika aku ingin masak daging, salah seorang diantara anakku berkata pada saudaranya, ‘Ayo, aku perlihatjan padamu bagaimana bapak menyembelih kambing.’ Saudarnya berkata, ‘Ayo, tunjukkan.’ Yang pertama menyuruh yang lain berbaring dan memotong lehernya, seperti bapaknya menyembelih kambing. Ketika menyadari apa yang terjadi, ia lari ke gunung. Di situ ia diserang dan dimangsa oleh serigala. Si ayah pergi mencarinya kemana-mana sampai mati kehausan. Sementara itu, di rumah, aku panik mencemaskan berita tentang suamiku. Aku letakkan bayiku dan menuju pintu untuk menanyakan siapa saja yang punya berita tentang suamiku. Bayi itu merangkak menuju tungku api yang sedang menjerang air. Ia menggapainya dan panic air itu jatuh membakar tubuh bayi itu dengan begitu mengenaskan sehingga daging bayi itu meleleh dari tulangnya. Ketika adikku yang sudah menikah mendengar kejadian ini, di rumah suaminya, ia mati karena terkejut. Jadi, tinggallah aku menanggung semua derita itu sendirian.”
Aku bertanya kepadanya, ”Bagaimana ibu berhasil mengatasi semua musibah ini dengan sabar?”
Ia menjawab, “Siapa saja yang merenungkan perbedaan antara sabar dan tidak sabar, ia akan tahu betapa jauhnya kedua dunia itu Padahal kesabaran itu kemuliaan, sedangkan pahala ketidaksabaran tidak ada sama sekali.”
Dari kisah di atas kita bisa melihat keteguhan dan kesabaran seorang perempuan yang dilanda musibah bertubi-tubi. Kehilangan anggota keluarga tidak membuatnya kalah dan menangis berlarut-larut. Ia memilih tidak menderita saat musibah datang. Ia memilih bersabar menerima musibah kehilangan anggota keluarga.
Adalah wajar bila sebagian besar manusia mengidamkan kebahagiaan di dunia maupun di akhirat. Kebahagiaan sendiri dapat diartikan sebagai pencapaian apa yang kita inginkan, kehidupan yang penuh berkah, ketenangan, kelesatarian, kesinambungan atau keabadian. Arti lain adalah keadaan dimana seseorang mengalami ketenangan jiwa dan akal. Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah apa yang menjadi sumber kebahagiaan? Jawaban pasti dari pertanyaan ini belum saya temukan. Tetapi menurut saya, sumber bahagia mungkin kuncinya ada di hati. Kelapangan hati merespon peristiwa disekitar kita.
Tidak gampang memang menjatuhkan pilihan untuk selalu bahagia. Butuh proses yang panjang dan latihan berulang-ulang. Tidak cukup satu atau dua hari. Saya mengalami sendiri bagaimana beratnya berlatih sabar dan ikhlas. Bekerja tanpa pamrih, berbuat tanpa mengharap imbalan. Akan terasa enteng bila pekerjaan dilaksanakan dengan ikhlas. Tidak ada iri atau rasa tidak senang.
Sebagai penutup patut kita menyimak ungkapan ini, “Hati yang kaya adalah hati yang tahu bahwa kebahagiaan nggak hanya ada saat ada kesenangan dan melimpahnya harta, tetapi juga saat musibah melanda dan saat serba kekurangan materi”(M. Ikhsan, 212). Badas, 4 Februari 2007.