Sendirian Kamu berdiri di samping jendela. Kepalamu bersandar ke dinding. Helai rambutmu awut-awutan. Tatapanmu kosong memandang sejauh pandangan matamu di balik jendela. Matahari masih malu-malu menampakkan wajahnya dari balik bukit. Bulir-bulir air jatuh dari pucuk daun seakan menangisi perginya malam.
“Pantaskah malam ditangisi?
Sementara kita terlelap tidur tanpa daya setelah seharian aktivitas.
Malam tanpa arti.
Malam hanya pantas ditangisi oleh mereka yang ber-‘cinta’ dengan Tuhan di waktu malam.
Hilangnya malam berarti berakhirnya kisah mereka.
Malam adalah waktu terindah bagi sang pencinta.
Suara-suara srek-srek seseorang menyapu halaman datang menembus celah-celah rumah masuk ke telingamu. Suara ayam jago bersahutan bagai gema adzan di waktu maghrib.
Sementara di kejauhan tampak deretan bukit tinggi bergelombang menutupi separo wajah matahari. Bukit yang membujur dari selatan ke utara bagai lukisan pemandanga yang besar ditempel di dinding galeri. Alam yang indah dan menarik setiap mata yang memandang.
Kamu masih berdiri di samping jendela. Belakangan ini kamu sering berlama-lama diam berdiri di samping jendela memikirkan satu hal, yaitu hidup. Hidup yang kamu jalani, bukan hidup orang lain. Hidup di dunia ini, bukan hidup di negeri mimpi. Inilah anehnya hidup, ketika kamu menjalaninnya semua terasa mengalir begitu saja. Tetapi ketika kamu ditanya tentang hidup, kamu seolah dipaksa untuk merenung dan memikirkan jawabannya. Hidup memang penuh misteri. Agama lahir dengan wahyunya untuk mengungkap misteri ini. Ilmu pengetahuan dengan akalnya juga ingin memecahkan misteri ini. Selama matahari menjamin adanya siang. Selama bulan menghiasi malam. Selama kamu masih menghela nafas. Selama itu pula hidup masih menyimpan misteri. Jadi, biarkanlah ada ruang sempit untuk misteri dalam hidupmu.
Kamu masih sama, tetap berdiri di samping jendela. Tanpa sepatah katapun yang keluar. Diam. Hanya hembusan nafasmu yang terdengar beriringan dengan suara tik-tik-tik jam dinding. Benda sekitar dalam kamarmu juga ikut diam melihatmu berdiri di samping jendela. Semua diam dalam tenang, Semua tenang dalam diam.
Setiap pagi, setelah bangun tidur, beberapa hari terakhir kamu selalu diam berdiri di samping jendela. Tapi, berdirimu pagi ini berbeda dengan yang kemarin.
“Hari ini bukan hari kemarin. Kemarin sudah menjadi catatan sejarah bagimu. Dan masa depan belumlah tentu ada, yang ada adalah sekarang. Walaupun demikian kamu patut mempelajari sejarah kemarin pada waktu sekarang sambil berharap adanya masa depan”.
Tanpa sadar butiran-butiran air mata membasahi syaraf-syaraf pipimu. Wajahmu pucat pasi. Matamu memerah semerah-merahnya. Ada kesedihan yang membuncah dari wajahmu. Sekilas, tangismu seperti rengekan bocah meminta uang pada ibunya. Tapi tangisamu? Bukan. Tangisamu adalah tangisan kesedihan bila mengingat peristiwa kemarin.
xxxxxxxxxxxxxxx
Aku tidak mengerti apakah ini anugerah atau bencana ketika aku mengenalnya. Tapi aku berharap ini anugerah Tuhan yang diberikan kepda manusia sepertiku. Ada perubahan hidup ketika aku mengenal Ashmora Paria, perempuan biasa yang terlalu biasa melakukan hal-hal luar biasa.
Perempuan berwajah ringkas, bertubuh semampai. Rambut hitam lurus dibelah tengah dengan ujung-jungnya menempel dada. Kulitnya halus dalam buaian udara. Alisnya setia menemani mata yang agak sipit. Bibirnya tipis tanpa banyak lipstick. Pipinya bersih sampai kelihatan urat-urat syarafnya. Kupingya tampak indah dengan anting yang tidak cukup satu di kuping. Fisiknya selalu menarik perhatian orang. Dan ada satu hal yang menarik darinya, yaitu kedewasaannya dalam menilai suatu permasalahan. Dia sudah mengerti baik-burukny akibat perbuatan yang terbuat. Sangat jarang perempuan seusiannya yang mampu bersikap seperti dia.
Keindahan fisik baginya adalah segala-galanya. Anugerah Tuhan yang harus disyukuri dan dirawat. Rambut sampai ujung kakinya adalah keindahan. Tuhn adalah seni keseksian. Tapi sayang dia tidak sadar bahwa keindahan dan kecantikan bukanlah hal yang abadi. Paling-palin bertahan Cuma 15 tahun. Bila umur genap 35 tahun, mulailah pudar keindahan dan kecantikan yang melekat pada dirinya. Dan ingatlah bahwa kecantikan merupakan konstruksi modernisme kapitalisme. Pandangan manusia tentang kecantikan dikonstruk sedemikian rupa oleh iklan yang setiap detik menyapa kita. Iklan berperan besar mempengaruhi masyarakat dalam menilai kecantikan. Cantak adalah pemakai bedak ini. Seksi adalah pemakai alat ini dan pemakai-pemakai yng lain. Ada sebuah ketidakadilan dalam masalah ini. Bagaiman nasib saudara-saudara kita dari golongan kulit hitam? Dengan rambut kribo, bibir tebal dab kulit hitam. Apakah masih ada label kecantikan yang melekat pada mereka?
Memang, kecantikan dan keseksian adalah pemberian tuhan yang terindah, yang harus disyukuri dan dirawat. Tapi itu bukalah segala-galanya.
Itulah Ashmora Paria*. Ya…Ashmora paria, perempuan biasa yang terlalu biasa melakukan hal-hal luar biasa. Mungkin inilah pertama kali aku bertemanan dengan wanita sepertinya.
Aku seperti memasuki lorong sempit di sebuah sudut dunia yang indah dan belum pernah aku lewati. Ketika melihatnya, aku menjadi makhluk lemah di padang luas ciptaan Tuhan. Tanpa taman. Tanpa pertolongan manusia. Hanya rahmat dan nikmat Tuhan yang mampu membuatku bertahan. Tanpa rahmat-Nya apalh arti hidup ini, hidup segan mati tak mau. Ketika berpapasan, aku bagaikan kupu-kupu mnghisap bau harum mawar merah. Hirup dalam-dalam kesegrannya. Hilang segala akal, hany rasa yng terperi. Ketika ketemu sapa, ucapan “mau kemana’ dan “monggo” menjadi sapaan hidangan manis pembuka makanan. Lezat menggugah seperti selera makan. Ketika saling bercakap dan bercerita, aku merasakan kenyamanan pengembala yang berteduh di bawah pohon beringin. Bahagia saling mendengarkan cerita masa lalu. Masa SMA. Cerita hidup di rumah. Cerita tentang keluarga dan cerita lain-lainnya. Warung bajigur dan nasi goreng Surabaya adalah tempat yang menjadi saksi cerita kejujuran kita.
Pernah kita berboncengan berdua melewati jalanan kota menghabiskan malam. Jalanan aspal mulus membentang ikhlas untuk dilewati. Dia sadar akan fungsinya. Tiara jadi saksinya. Lampu kota memperindah pandangan. Langit setia menemani dan memayungi.
Hari-hari bergulir menjadi tempat indah bagi kebersamaan ini. Hingga tiada waktu tanpa terlewati berdua. Pagi berganti siang. Siang berubah malam menjadi saksi kebersamaan ini. Aku merasakan kebahgiaan tak terperi. Kebahagiaan yang tak bisa dinilai dengan uang. Akan tetapi, di puncak kebahagiaan inilah aku merasakan kesedihan. Kesedihan jarang berkumpul dengan teman-teman yang mengasyikkan. Kesedhan jarang bergaul dengan dunia lamaku. Dunia yang menjadi tempat berkumpul kami berempat.
xxxxxxxxxxxx
Kamu masih tetap berdiri di samping jendela. Matamu sembab banyak mengeluarkan air mata. Alur air mata membekas di pipimu melewati samping kanan kiri mulut. Sementara matahari sudah beberapa langkah meninggalkan tempat terbitnya.
Sagan, 2005
*Nama Ashmora Paria diambil dari Novel Herlienatins “Garis Tepi Seorang Lesbian”