Orang cerdas diukur dari jawaban atas pertanyaan yang diajukan.
Orang bijak dinilai dari pertanyaan yang dia ajukan.
(Naguib Mahfouz, Sastrawan Arab peraih hadiah nobel)
Novelis kontroversial dari Mesir pemenang hadiah nobel sastra, yang sulit untuk dilupakan itu, adalah Naguib Mahfouz (1911-2006). Ia lahir di Kairo dan lulusan Universitas al-Mishriah (kini Universitas Kairo). Anak pertama dari tujuh bersaudara dari orang tua pegawai sipil kelas bawah ini mendapatkan pengetahuan sastra Arab zaman pertengahan dan modern saat masih di sekolah menengah.
Saat kuliah di Universitas al Mishriah, Mahfouz mengambil jurusan filsafat, fakultas sastra. Ia sering mempunyai pemikiran-pemikiran tentang kebudayaan yang berbeda bahkan berlawanan dengan para budayawan Mesir. Ia banyak belajar dan berhutang budi pada Abbas Mahmud al Aqad, Thaha Husein, al Mazany, Leo Tolstoy, Anton Chekov dan William Shakespeare. Dalam peradaban dunia, nama Mahfouz sejajar dengan Voltaire, sastrawan, penyair, sejarawan dan filosof Perancis. Selama menjadi mahasiswa ia juga aktif menulis di berbagai media massa dan menerjemahkan James Baikie’s Ancient Egypt (1912) ke dalam bahasa Arab (terbit pada 1932).
Setelah wisuda, Mahfouz meneruskan hobinya dengan menulis fiksi. Lebih dari 80 cerita pendeknya diterbitkan dalam enam tahun berturut-turut. Kumpulan cerpennya Hams Al-Junun (A Whisper of Madness) terbit pada tahun 1938. Saat menjabat pegawai di Departemen Uruan Agam Mesir pada 1939-1954, Mahfouz menulis tiga jilid berisi serangkaian 40 novel bersetting sejarah Mesir kuno. Ia tidak bertahan lama di Departemen ini karena dunia sedang dilanda Perang Dunia II.
Dilihat dari karyanya, Mahfouz nampaknya memilih jalur realisme social dalam kepengarangannya. Seperti Pramoedya yang banyak menulis novel bersetting Indonesia pada masa penjajahan Jepang dan Belanda.
Dalam iklim politik yang bergejolak seiring runtuhnya kerajaan Mesir pada 1952, Mahfouz menulis al-Tsulatsiyah al-Qahirah (The Cairo Trilogy). Buku ini terdiri dari tiga jilid yng berisi tentang ekhidupan masyarakat Mesir di paruh pertama abad XX (1950-1955). Sedangkan pada tahun 1959, Mahfouz menulis novel Awlad Haratina (The Children of Gabalawy; Anak-anak Kampung)). Novel inilah yang memancing kontroversi di jagat sastra Mesir. Ia harus menanggung tuduhan kafir dari para ulama. Dan para kritikus sastra menganggap ia mempunyai imajinasi dan ilusi yang sesat. Akibatnya pada tahun 1994 ia mengalami kekerasan fisik ditikam dari belakang dari orang yang tak dikenal. Meskipun ia cidera tetapi masih selamat nyawanya.
Naguib Mahfouz tergolong sastrawan produktif berkarya semasa hidupnya. Karya-karyanya yang pernah diangkat ke layar lebar antara lain Bidayah wa Nihayah (Permulaan dan Penghabisan), Zuqoq al-Midaq (Lorong Midaq) dan al-Lish wa al-Kilab (Pencopet dan sekelompok Begundal). Karya-karya lainnya meliputi al-Tariq (1964; The Search, 1987), Tharthara fawq al-Nil (Chatter on the Nile, 1966), Miramar (1967), Hubb that al-Matar (Love in the Rain, 1973), Hadrat al-muhtaram (1975; Respected sir, 1986), Afrah al-Qubba (1981; Wedding song, 1984, dan Qushtumur (1988).
Yang menarik dari Mahfouz ini adalah sambutanya saat menerima hadiah nobel 8 Desember 1988. Ia mengaku
“Saya adalah putra dua peradaban yang di waktu tertentu dalam sejarah telah melangsungkan sebuah perkawinan bahagia. Yang pertama telah berusia tujuh ribu tahun, peradaban fir’aun; yang kedua, seribu empat ratus tahun usianya, peradaban Islam.”
Mahfouz termasuk tokoh popular di Indonesia. Ia menjadi sumber dan obyek kajian para mahasiswa terutama jurusan Bahasa dan Sastra Arab. Baik kepribadiaanya, pemikiran maupun karyanya menjadi rujukan yang tak lekang di makan waktu. Semoga menjadi amal baik Naguib Mahfouz.
Sumber Bacaan
Sugito, Zen Rahmat (Editor), Pengakuan Para Sastrawan Dunia Pemenang Nobel, (Yogyakarta; Penerbit Pinus, 2006)
Mahfouz, Najib, Al-Lish wa Al-Kilab, (diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Joko Suryatno, Pencopet dan Kelompok Begundal, Yoyakarta; Mitsaq, 2000)
Badas, 6 Februari 2007